sejarah kerajaan majapahit

Majapahit adalah sebuah kerajaan kuno di Indonesia yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya pada masa kekuasaan Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389.

Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Semenanjung Malaya dan dianggap sebagai salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia.Kekuasaannya terbentang di Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya, Borneo, Kepulauan Sulu, Manila (Saludung), hingga Indonesia timur, meskipun wilayah kekuasaannya masih diperdebatkan.

Historiografi
Hanya terdapat sedikit bukti fisik sisa-sisa Majapahit, dan sejarahnya tidak jelas. Sumber utama yang digunakan oleh para sejarawan adalah Pararaton (‘Kitab Raja-raja’) dalam bahasa Kawi dan Nagarakretagama dalam bahasa Jawa Kuno.

Pararaton terutama menceritakan Ken Arok (pendiri Kerajaan Singhasari) namun juga memuat beberapa bagian pendek mengenai terbentuknya Majapahit. Sementara itu, Nagarakertagama merupakan puisi Jawa Kuno yang ditulis pada masa keemasan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk. Setelah masa itu, hal yang terjadi tidaklah jelas. Selain itu, terdapat beberapa prasasti dalam bahasa Jawa Kuno maupun catatan sejarah dari Tiongkok dan negara-negara lain.

Keakuratan semua naskah berbahasa Jawa tersebut dipertentangkan. Tidak dapat disangkal bahwa sumber-sumber itu memuat unsur non-historis dan mitos. Beberapa sarjana seperti C.C. Berg menganggap semua naskah tersebut bukan catatan masa lalu, tetapi memiliki arti supernatural dalam hal dapat mengetahui masa depan. Namun demikian, banyak pula sarjana yang beranggapan bahwa garis besar sumber-sumber tersebut dapat diterima karena sejalan dengan catatan sejarah dari Tiongkok, khususnya daftar penguasa dan keadaan kerajaan yang tampak cukup pasti.

Sejarah Berdirinya Majapahit
Sesudah Singhasari mengusir Sriwijaya dari Jawa secara keseluruhan pada tahun 1290, Singhasari menjadi kerajaan paling kuat di wilayah tersebut. Hal ini menjadi perhatian Kubilai Khan, penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok. Ia mengirim utusan yang bernama Meng Chi[9] ke Singhasari yang menuntut upeti. Kertanagara, penguasa kerajaan Singhasari yang terakhir menolak untuk membayar upeti dan mempermalukan utusan tersebut dengan merusak wajahnya dan memotong telinganya.

Kublai Khan marah dan lalu memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa tahun 1293. Ketika itu, Jayakatwang, adipati Kediri, sudah membunuh Kertanagara. Atas saran Aria Wiraraja, Jayakatwang memberikan pengampunan kepada Raden Wijaya, menantu Kertanegara, yang datang menyerahkan diri. Raden Wijaya kemudian diberi hutan Tarik. Ia membuka hutan itu dan membangun desa baru. Desa itu dinamai Majapahit, yang namanya diambil dari buah maja, dan rasa “pahit” dari buah tersebut.

Ketika pasukan Mongol tiba, Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongol untuk bertempur melawan Jayakatwang. Raden Wijaya berbalik menyerang sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka menarik pulang kembali pasukannya secara kalang-kabut karena mereka berada di teritori asing.[11][12] Saat itu juga merupakan kesempatan terakhir mereka untuk menangkap angin muson agar dapat pulang, atau mereka harus terpaksa menunggu enam bulan lagi di pulau yang asing.

Tanggal pasti yang digunakan sebagai tanggal kelahiran kerajaan Majapahit adalah hari penobatan Raden Wijaya sebagai raja, yaitu pada tanggal 10 November 1293. Ia dinobatkan dengan nama resmi Kertarajasa Jayawardhana. Kerajaan ini menghadapi masalah. Beberapa orang terpercaya Kertarajasa, termasuk Ranggalawe, Sora, dan Nambi memberontak melawannya, meskipun pemberontakan tersebut tidak berhasil.

Slamet Muljana menduga bahwa mahapatih Halayudha lah yang melakukan konspirasi untuk menjatuhkan semua orang terpercaya raja, agar ia dapat mencapai posisi tertinggi dalam pemerintahan. Namun setelah kematian pemberontak terakhir (Kuti), Halayudha ditangkap dan dipenjara, dan lalu dihukum mati.[12] Wijaya meninggal dunia pada tahun 1309.

Anak dan penerus Wijaya, Jayanegara, adalah penguasa yang jahat dan amoral. Ia digelari Kala Gemet, yang berarti “penjahat lemah”. Pada tahun 1328, Jayanegara dibunuh oleh tabibnya, Tanca. Ibu tirinya yaitu Gayatri Rajapatni seharusnya menggantikannya, akan tetapi Rajapatni memilih mengundurkan diri dari istana dan menjadi pendeta wanita. Rajapatni menunjuk anak perempuannya Tribhuwana Wijayatunggadewi untuk menjadi ratu Majapahit. Selama kekuasaan Tribhuwana, kerajaan Majapahit berkembang menjadi lebih besar dan terkenal di daerah tersebut. Tribhuwana menguasai Majapahit sampai kematian ibunya pada tahun 1350. Ia diteruskan oleh putranya, Hayam Wuruk.

Kejayaan Majapahit
Hayam Wuruk, juga disebut Rajasanagara, memerintah Majapahit dari tahun 1350 hingga 1389. Pada masanya Majapahit mencapai puncak kejayaannya dengan bantuan mahapatihnya, Gajah Mada. Di bawah perintah Gajah Mada (1313-1364), Majapahit menguasai lebih banyak wilayah. Pada tahun 1377, beberapa tahun setelah kematian Gajah Mada, Majapahit melancarkan serangan laut ke Palembang,[2] menyebabkan runtuhnya sisa-sisa kerajaan Sriwijaya

Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra, semenanjung Malaya, Borneo, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, dan sebagian kepulauan Filipina[13]. Namun demikian, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan tersebut tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit, tetapi terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yang mungkin berupa monopoli oleh raja[14]. Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke Tiongkok

Jatuhnya Majapahit
Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur melemah. Tampaknya terjadi perang saudara (Perang Paregreg) pada tahun 1405-1406, antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Demikian pula telah terjadi pergantian raja yang dipertengkarkan pada tahun 1450-an, dan pemberontakan besar yang dilancarkan oleh seorang bangsawan pada tahun 1468.

Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi sirna ilang kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah “sirna hilanglah kemakmuran bumi”. Namun demikian yang sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala tersebut adalah gugurnya Bre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana.

Ketika Majapahit didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar agama sudah mulai memasuki Nusantara. Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh Nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan baru yang berdasarkan Islam, yaitu Kesultanan Malaka, mulai muncul di bagian barat Nusantara.

Catatan sejarah dari Tiongkok, Portugis (Tome Pires), dan Italia (Pigafetta) mengindikasikan bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus, penguasa dari Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan 1521 M.

Raja-raja Majapahit
Berikut adalah daftar penguasa Majapahit. Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8) dan Girishawardhana yang mungkin diakibatkan oleh krisis suksesi yang memecahkan keluarga kerajaan Majapahit menjadi dua kelompok.
1. Raden Wijaya, bergelar Kertarajasa Jayawardhana (1293 – 1309)
2. Kalagamet, bergelar Sri Jayanagara (1309 – 1328)
3. Sri Gitarja, bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328 – 1350)
4. Hayam Wuruk, bergelar Sri Rajasanagara (1350 – 1389)
5. Wikramawardhana (1389 – 1429)
6. Suhita (1429 – 1447)
7. Kertawijaya, bergelar Brawijaya I (1447 – 1451)
8. Rajasawardhana, bergelar Brawijaya II (1451 – 1453)
9. Purwawisesa atau Girishawardhana, bergelar Brawijaya III (1456 – 1466)
10. Bhre Pandansalas, atau Suraprabhawa, bergelar Brawijaya IV (1466 – 1468)
11. Bhre Kertabumi, bergelar Brawijaya V (1468 – 1478)
12. Girindrawardhana, bergelar Brawijaya VI (1478 – 1498)
13. Hudhara, bergelar Brawijaya VII (1498-1518)

cerita wali songo

Senja hampir bergulir di Desa Gapuro, Gresik, Jawa Timur, menjelang bulan Ramadhan itu. Tak ada angin. Awan seperti berhenti berarak. Batu pualam berukir kaligrafi indah itu terpacak bagaikan saksi sejarah. Itulah nisan makam almarhum Syekh Maulana Malik Ibrahim, yang wafat pada 12 Rabiul Awal 822 Hijriah, atau 8 April 1419.

Di latar nisan itu tersurat ayat suci Al-Quran: surat Ali Imran 185, Ar-Rahman 26-27, At-Taubah 21-22, dan Ayat Kursi. Ada juga rangkaian kata pujian dalam bahasa Arab bagi Malik Ibrahim: ”Ia guru yang dibanggakan para pejabat, tempat para sultan dan menteri meminta nasihat. Orang yang santun dan murah hati terhadap fakir miskin. Orang yang berbahagia karena mati syahid, tersanjung dalam bidang pemerintahan dan agama.”

Demikian terjemahan bebas inskripsi di nisan pualam makam berbangun lengkung menyerupai kubah itu. Dalam beberapa sumber sejarah tradisional, Syekh Maulana Malik Ibrahim disebut sebagai anggota Wali Songo, tokoh sentral penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Sejarawan G.W.J. Drewes menegaskan, Maulana Malik Ibrahim adalah tokoh yang pertama-tama dipandang sebagai wali di antara para wali.

”Ia seorang mubalig paling awal,” tulis Drewes dalam bukunya, New Light on the Coming of Islam in Indonesia. Gelar Syekh dan Maulana, yang melekat di depan nama Malik Ibrahim, menurut sejarawan Hoessein Djajadiningrat, membuktikan bahwa ia ulama besar. Gelar tersebut hanya diperuntukkan bagi tokoh muslim yang punya derajat tinggi.

Sekalipun Malik Ibrahim tidak termasuk dalam jajaran Wali Songo, masih menurut Hoessein, jelas dia adalah seorang wali. Adapun istilah Wali Songo berasal dari kata ”wali” dan ‘’songo”. Kata wali berasal dari bahasa Arab, waliyullah, orang yang dicintai Allah –alias kekasih Tuhan. Kata songo berasal dari bahasa Jawa, yang berarti sembilan.

Ada wali yang termasuk anggota Wali Songo –yang terdiri dari sembilan orang– dan ada wali yang bukan anggota ”dewan” Wali Songo. Konsep ”dewan wali” berjumlah sembilan ini diduga diadopsi dari paham Hindu-Jawa yang berkembang sebelum masuknya Islam. Wali Songo seakan-akan dianalogikan dengan sembilan dewa yang bertahta di sembilan penjuru mata angin.

Dewa Kuwera bertahta di utara, Isana di timur laut. Indra di timur, Agni di tenggara, dan Kama di selatan. Dewa Surya berkedudukan di barat daya, Yama di barat, Bayu, atawa Nayu, di barat laut, dan Siwa di tengah. Para wali diakui sebagai manusia yang dekat dengan Tuhan. Mereka ulama besar yang menyemaikan benih Islam di Jawadwipa.

Figur para wali –sebagaimana dikisahkan dalam babad dan ”kepustakaan” tutur– selalu dihubungkan dengan kekuatan gaib yang dahsyat. Namun, hingga sekarang, belum tercapai ”kesepakatan” tetang siapa saja gerangan Wali nan Sembilan itu. Terdapat beragam-ragam pendapat, masing-masing dengan alasannya sendiri.

Pada umumnya orang berpendapat, yang terhisab ke dalam Wali Songo adalah: Syekh Maulana Malik Ibrahim alias Sunan Gresik, Raden Rakhmad alias Sunan Ampel, Raden Paku alias Sunan Giri, Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati, Raden Maulana Makdum Ibrahim alias Sunan Bonang, Syarifuddin alias Sunan Drajat, Jafar Sodiq alias Sunan Kudus, Raden Syahid alias Sunan Kalijaga, dan Raden Umar Sayid alias Sunan Muria.

Namun, komposisi Wali nan Sembilan ini juga punya banyak versi. Prof. Soekmono dalam bukunya, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, Jilid III, tidak memasukkan Syekh Maulana Malik Ibrahim dalam jajaran Wali Songo. Guru besar sejarah kebudayaan Universitas Indonesia itu justru menempatkan Syekh Siti Jenar, alias Syekh Lemah Abang, sebagai anggota Wali Songo.

Sayang, Soekmono tak menyodorkan argumentasi mengapa Maulana Malik Ibrahim tidak termasuk Wali Songo. Ia hanya menyebut Syekh Siti Jenar sebagai tokoh sangat populer. Siti Jenar dihukum mati oleh Wali Songo, karena dinilai menyebarkan ajaran sesat tentang jubuhing kawulo Gusti (bersatunya hamba dengan Tuhannya), yang dapat mengguncang iman orang dan menggoyahkan syariat Islam.

Selain itu, Wali Songo juga ditafsirkan sebagai sebuah lembaga, atau dewan dakwah. Istilah sembilan dirujukkan dengan sembilan fungsi koordinatif dalam lembaga dakwah itu. Teori ini diuraikan dalam buku Kisah Wali Songo; Para Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa karya Asnan Wahyudi dan Abu Khalid.

Kedua penulis itu merujuk pada kitab Kanz Al-’ulum karya Ibn Bathuthah. Mereka menjelaskan, sebagai lembaga dewan dakwah, Wali Songo paling tidak mengalami lima kali pergantian anggota. Pada periode awal, anggotanya terdiri dari Maulana Malik Ibrahim, Ishaq, Ahmad Jumad Al-Kubra, Muhammad Al-Magribi, Malik Israil, Muhammad Al-Akbar, Maulana Hasanuddin, Aliyuddin, dan Syekh Subakir.

Pada periode kedua, Raden Rakhmad (Sunan Ampel), Sunan Kudus, Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), dan Sunan Bonang masuk menggantikan Maulana Malik Ibrahim, Malik Israil, Ali Akbar, dan Maulana Hasanuddin –yang wafat. Pada periode ketiga, masuk Sunan Giri, menggantikan Ishaq yang pindah ke Pasai, Aceh, dan Sunan Kalijaga menggantikan Syekh Subakir yang pulang ke Persia.

Pada periode keempat, Raden Patah dan Fatullah Khan masuk jajaran Wali Songo. Kedua tokoh ini menggantikan Ahmad Jumad Al-Kubra dan Muhammad Al-Magribi yang wafat. Sunan Muria menduduki lembaga Wali Songo dalam periode terakhir. Ia menggantikan Raden Patah, yang naik tahta sebagai Raja Demak Bintoro yang pertama.

Analisis tersebut secara kronologis mengandung banyak kelemahan. Contohnya Sunan Ampel, yang diperkirakan wafat pada 1445. Dalam versi ini disebutkan, seolah-olah Sunan Ampel masih hidup sezaman dengan Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, dan Sunan Muria. Padahal, Sunan Kudus hidup pada 1540-an.

Adapun Sunan Bonang dan Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel. Sunan Bonang merupakan guru Sunan Kalijaga, yang berputra Sunan Muria. Bagaimana mungkin Sunan Ampel hidup sezaman dengan Sunan Muria? Lagi pula, tokoh Wali Songo yang disebut dalam buku ini –Aliyuddin, Ali Akbar, dan Fatullah Khan– bukan wali terkenal di Jawa.

Nama mereka jarang ditemukan dalam historiografi tradisional, baik berupa serat maupun babad. Padahal, di Jawa terdapat puluhan naskah kuno berupa babad, hikayat, dan serat, yang mengisahkan para wali. Sebagian besar babad juga menggambarkan, Wali Songo hidup dalam kurun waktu yang bersamaan.

Para wali, menurut versi babad, dikisahkan sering mengadakan pertemuan di Masjid Demak dan Masjid ”Sang Cipta Rasa” (Cirebon). Di sana mereka membicarakan berbagai persoalan keagamanan dan kenegaraan. Kisah semacam ini, antara lain, dapat dibaca di Babad Demak, Babad Cirebon, dan Babad Tanah Jawi.

Babad Cirebon, misalnya, mewartakan bahwa pada 1426, para wali berkumpul di Gunung Ciremai. Mereka mengadakan musyawarah yang dipimpin Sunan Ampel, membentuk ”Dewan Wali Songo”. Sunan Gunung Jati ditunjuk selaku wali katib, atau imam para wali. Anggotanya terdiri dari Sunan Ampel, Syekh Maulana Magribi, Sunan Bonang, Sunan Ngudung alias Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Syekh Lemah Abang, Syekh Betong, dan Sunan Majagung.

Ditambah dengan Sunan Gunung Jati, jumlah wali itu malah menjadi 10 orang. Nama-nama Wali Songo yang tertulis di Babad Cirebon tersebut berbeda dengan yang tersurat di Babad Tanah Jawi. Dalam Babad Tanah Jawi, yang berasal dari Jawa Tengah, tidak ditemukan nama Syekh Betong dan Syekh Majagung. Sebagai gantinya, akan dijumpai nama Sunan Giri dan Sunan Drajat.

Tapi, peran Wali Songo jelaslah tak sebatas di bidang keagamaan. Mereka juga bertindak selaku anggota dewan penasihat bagi raja. Bahkan, Sunan Giri membentuk dinasti keagamaan, dan secara politis berkuasa di wilayah Gresik, Tuban, dan sekitarnya. Ia mengesahkan penobatan Joko Tingkir sebagai Raja Pajang bergelar Sultan Hadiwijaya, setelah kekuasaan Raja Demak surut.

Di luar Wali Songo, ada puluhan tokoh penyebar agama Islam di Jawa yang juga dianggap sebagai wali. Hanya, biasanya mereka berkuasa di kawasan tak seberapa luas. Sunan Tembayat, misalnya, dikenal sebagai pedakwah di Tembayat, sebuah wilayah kecamatan di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Ia dilegendakan sebagai murid Sunan Kalijaga.

Sunan Tembayat adalah Adipati Semarang yang termasyhur dengan nama Ki Ageng Pandanarang. Berdasarkan cerita babad yang dikutip H.J. De Graaf dan T.H. Pigeuad, Pandanaran meninggalkan singgasananya lantaran gandrung akan ajaran Islam yang disampaikan Sunan Kalijaga. Pada 1512, Pandanarang menyerahkan tampuk pemerintahan kepada adik laki-lakinya.

”Ia bersama istrinya mengundurkan diri dari dunia ramai,” tulis De Graaf dan Pigeaud dalam buku Kerajaan Islam Pertama di Jawa. ”Pasangan bangsawan Jawa ini berkelana mencari ketenangan batin, sembari berdakwah,” kedua pakar sejarah dari Universitas Leiden, Negeri Belanda, itu menambahkan.

Usai bertualang, Pandanarang dan istrinya bekerja pada seorang wanita pedagang beras di Wedi, Klaten. Akhirnya ia menetap di Tembayat sebagai guru mengaji. Di sana selama 25 tahun, Pandanarang hidup sebagai orang suci dengan sebutan Sunan Tembayat. Ia wafat pada 1537 dan dimakamkan di situ. Bangunan kompleks makam Sunan Tembayat terbuat dari batu berukir, menyerupai bentuk Candi Bentar di Jawa Timur dan pura di Bali.

Pada prasasti makam Sunan Tembayat tertulis, makam ini pertama kali dipugar pada 1566 oleh Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya. ”Kemudian, pada 1633, Sultan Agung dari Mataram memperluas dan memperindah bangunan makam Tembayat,” tulis De Graaf. Cerita tutur tentang kesaktian orang suci dari Semarang yang dimakamkan di Tembayat ini, menurut De Graaf, sudah beredar luas di kalangan masyarakat Jawa sejak pertengahan abad ke-17.

Kisah ini ternukil di naskah klasik karya Panembahan Kajoran dari Yogyakarta, yang ditulis pada 1677. Naskah tersebut pertama kali diteliti oleh D.A. Rinkes pada 1909. Dan kini, bukti sejarah itu tersimpan di Museum Leiden, Negeri Belanda. ”Dengan begitu, legenda itu punya inti kebenaran,” tulis De Graaf, yang dijuluki ”Bapak Sejarah Jawa”.

Selain Sunan Tembayat –menurut versi Babad Tanah Jawi– Sunan Kalijaga juga punya murid lain, Sunan Geseng namanya. Nama asli petani penyadap nira ini adalah Ki Cokrojoyo. Alkisah, dalam pengembaraannya, Sunan Kalijaga terpikat suara merdu Ki Crokro yang bernyanyi setelah menyadap nira.

Kalijaga meminta Ki Cokro mengganti syair lagunya dengan zikir kepada Allah. Ketika Ki Cokro berzikir, mendadak gula yang ia buat dari nira itu berubah jadi emas. Petani ini heran bukan kepalang. Ia ingin berguru kepada Sunan Kalijaga. Untuk menguji keteguhan hati calon muridnya, Sunan Kalijaga menyuruh ki Cokro berzikir tanpa berhenti, sebelum ia datang lagi.

Setahun kemudian, Sunan Kalijaga teringat Ki Cokro. Sang aulia memerintahkan murid-muridnya mencari Ki Cokro, yang berzikir di tengah hutan. Mereka kesulitan menemukannya, karena tempat berzikir ki Cokro telah berubah menjadi padang ilalang dan semak belukar. Syahdan, setelah murid-murid Sunan Kalijaga membakar padang ilalang, tampaklah Ki Cokro sujud ke kiblat.

Tubuhnya hangus, alias geseng, dimakan api. Tapi, penyadap nira ini masih bugar, mulutnya berzikir komat-kamit. Sunan Kalijaga membangunkannya dan memberinya nama Sunan Geseng. Ia menyebarkan agama Islam di Desa Jatinom, sekitar 10 kilometer dari kota Klaten arah ke utara. Penduduk Jatinom mengenal Sunan Geseng dengan sebutan Ki Ageng Gribik.

Julukan itu berangkat dari pilihan Sunan Geseng untuk tinggal di rumah beratap gribik –anyaman daun nyiur. Menurut legenda setempat, ketika Ki Ageng Gribik pulang dari menunaikan ibadah haji, ia melihat penduduk Jatinom kelaparan. Ia membawa sepotong kue apem, dibagikan kepada ratusan orang yang kelaparan. Semuanya kebagian.

Kia Ageng Gribik meminta warga yang kelaparan makan secuil kue apem seraya mengucapkan zikir: Ya-Qowiyyu (Allah Mahakuat). Mereka pun kenyang dan sehat. Sampai kini, masyarakat Jatinom menghidupkan legenda Ki Ageng Gribik itu dengan menyelenggarakan upacara ”Ya-Qowiyyu” pada setiap bulan Syafar.

Warga membikin kue apem, lalu disetorkan ke masjid. Apem yang terkumpul jumlahnya mencapai ratusan ribu. Kalau ditotal, beratnya sekitar 40 ton. Puncak upacara berlangsung usai salat Jumat. Dari menara masjid, kue apem disebarkan para santri sambil berzikir, Ya-Qowiyyu…. Ribuan orang yang menghadiri upacara memperebutkan apem ”gotong royong” itu.

Kisah Ki Ageng Gribik hanyalah satu dari sekian banyak mitos tentang para wali. Legenda keagamaan yang ditulis babad, menurut De Graaf, sedikit nilai kebenarannya. Hanya yang mengenai wali-wali terkemuka, katanya, ada kepastian sejarah yang cukup kuat. Makam mereka masih tetap merupakan tempat yang sangat dihormati. Pada kurun abad ke-16 hingga abad ke-17, keturunan para wali juga memegang peranan penting dalam sejarah politik Jawa.

SELAMA 40 hari, Raden Paku bertafakur di sebuah gua. Ia bersimpuh, meminta petunjuk Allah SWT, ingin mendirikan pesantren. Di tengah hening malam, pesan ayahnya, Syekh Maulana Ishak, kembali terngiang: ”Kelak, bila tiba masanya, dirikanlah pesantren di Gresik.” Pesan yang tak terlalu sulit, sebetulnya.

Tapi, ia diminta mencari tanah yang sama persis dengan tanah dalam sebuah bungkusan ini. Selesai bertafakur, Raden Paku berangkat mengembara. Di sebuah perbukitan di Desa Sidomukti, Kebomas, ia kemudian mendirikan Pesantren Giri. Sejak itu pula Raden Paku dikenal sebagai Sunan Giri. Dalam bahasa Sansekerta, ”giri” berarti gunung.

Namun, tak ada peninggalan yang menunjukkan kebesaran Pesantren Giri –yang berkembang menjadi Kerajaan Giri Kedaton. Tak ada juga bekas-bekas istana. Kini, di daerah perbukitan itu hanya terlihat situs Kedaton, sekitar satu kilometer dari makam Sunan Giri. Di situs itu berdiri sebuah langgar berukuran 6 x 5 meter.

Di sanalah, konon, sempat berdiri sebuah masjid, tempat Sunan Giri mengajarkan agama Islam. Ada juga bekas tempat wudu berupa kolam berukuran 1 x 1 meter. Tempat ini tampak lengang pengunjung. ”Memang banyak orang yang tidak tahu situs ini,” kata Muhammad Hasan, Sekretaris Yayasan Makam Sunan Giri, kepada GATRA.

Syahdan, Pesantren Giri terkenal ke seluruh penjuru Jawa, bahkan sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Menurut Babad Tanah Jawi, murid Sunan Giri juga bertebaran sampai ke Cina, Mesir, Arab, dan Eropa. Pesantren Giri merupakan pusat ajaran tauhid dan fikih, karena Sunan Giri meletakkan ajaran Islam di atas Al-Quran dan sunah Rasul.

Ia tidak mau berkompromi dengan adat istiadat, yang dianggapnya merusak kemurnian Islam. Karena itu, Sunan Giri dianggap sebagai pemimpin kaum ”putihan”, aliran yang didukung Sunan Ampel dan Sunan Drajat. Tapi, Sunan Kalijaga menganggap cara berdakwah Sunan Giri kaku. Menurut Sunan Kalijaga, dakwah hendaklah pula menggunakan pendekatan kebudayaan.

Misalnya dengan wayang. Paham ini mendapat sokongan dari Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati. Perdebatan para wali ini sempat memuncak pada peresmian Masjid Demak. ”Aliran Tuban” –Sunan Kalijaga cs– ingin meramaikan peresmian itu dengan wayang. Tapi, menurut Sunan Giri, menonton wayang tetap haram, karena gambar wayang itu berbentuk manusia.

Akhirnya, Sunan Kalijaga mencari jalan tengah. Ia mengusulkan bentuk wayang diubah: menjadi tipis dan tidak menyerupai manusia. Sejak itulah wayang beber berubah menjadi wayang kulit. Ketika Sunan Ampel, ”ketua” para wali, wafat pada 1478, Sunan Giri diangkat menjadi penggantinya. Atas usulan Sunan Kalijaga, ia diberi gelar Prabu Satmata.

Diriwayatkan, pemberian gelar itu jatuh pada 9 Maret 1487, yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Gresik. Di kalangan Wali nan Sembilan, Sunan Giri juga dikenal sebagai ahli politik dan ketatanegaraan. Ia pernah menyusun peraturan ketataprajaan dan pedoman tata cara di keraton. Pandangan politiknya pun dijadikan rujukan.

Menurut Dr. H.J. De Graaf, lahirnya berbagai kerajaan Islam, seperti Demak, Pajang, dan Mataram, tidak lepas dari peranan Sunan Giri. Pengaruhnya, kata sejarawan Jawa itu, melintas sampai ke luar Pulau Jawa, seperti Makassar, Hitu, dan Ternate. Konon, seorang raja barulah sah kerajaannya kalau sudah direstui Sunan Giri.

Pengaruh Sunan Giri ini tercatat dalam naskah sejarah Through Account of Ambon, serta berita orang Portugis dan Belanda di Kepulauan Maluku. Dalam naskah tersebut, kedudukan Sunan Giri disamakan dengan Paus bagi umat Katolik Roma, atau khalifah bagi umat Islam. Dalam Babad Demak pun, peran Sunan Giri tercatat.

Ketika Kerajaan Majapahit runtuh karena diserang Raja Girindrawardhana dari Kaling Kediri, pada 1478, Sunan Giri dinobatkan menjadi raja peralihan. Selama 40 hari, Sunan Giri memangku jabatan tersebut. Setelah itu, ia menyerahkannya kepada Raden Patah, putra Raja Majapahit, Brawijaya Kertabhumi.

Sejak itulah, Kerajaan Demak Bintoro berdiri dan dianggap sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Padahal, sebenarnya, Sunan Giri sudah menjadi raja di Giri Kedaton sejak 1470. Tapi, pemerintahan Giri lebih dikenal sebagai pemerintahan ulama dan pusat penyebaran Islam. Sebagai kerajaan, juga tidak jelas batas wilayahnya.

Tampaknya, Sunan Giri lebih memilih jejak langkah ayahnya, Syekh Maulana Ishak, seorang ulama dari Gujarat yang menetap di Pasai, kini Aceh. Ibunya Dewi Sekardadu, putri Raja Hindu Blambangan bernama Prabu Menak Sembuyu. Kisah Sunan Giri bermula ketika Maulana Ishak tertarik mengunjungi Jawa Timur, karena ingin menyebarkan agama Islam.

Setelah bertemu dengan Sunan Ampel, yang masih sepupunya, ia disarankan berdakwah di daerah Blambangan. Ketika itu, masyarakat Blambangan sedang tertimpa wabah penyakit. Bahkan putri Raja Blambangan, Dewi Sekardadu, ikut terjangkit. Semua tabib tersohor tidak berhasil mengobatinya.

Akhirnya raja mengumumkan sayembara: siapa yang berhasil mengobati sang Dewi, bila laki-laki akan dijodohkan dengannya, bila perempuan dijadikan saudara angkat sang dewi. Tapi, tak ada seorang pun yang sanggup memenangkan sayembara itu. Di tengah keputusasaan, sang prabu mengutus Patih Bajul Sengara mencari pertapa sakti.

Dalam pencarian itu, patih sempat bertemu dengan seorang pertapa sakti, Resi Kandayana namanya. Resi inilah yang memberi ”referensi” tentang Syekh Maulana Ishak. Rupanya, Maulana Ishak mau mengobati Dewi Sekardadu, kalau Prabu Menak Sembuyu dan keluarganya bersedia masuk Islam. Setelah Dewi Sekardadu sembuh, syarat Maulana Ishak pun dipenuhi.

Seluruh keluarga raja memeluk agama Islam. Setelah itu, Dewa Sekardadu dinikahkan dengan Maulana Ishak. Sayangnya, Prabu Menak Sembuyu tidak sepenuh hati menjadi seorang muslim. Ia malah iri menyaksikan Maulana Ishak berhasil mengislamkan sebagian besar rakyatnya. Ia berusaha menghalangi syiar Islam, bahkan mengutus orang kepercayaannya untuk membunuh Maulana Ishak.

Merasa jiwanya terancam, Maulana Ishak akhirnya meninggalkan Blambangan, dan kembali ke Pasai. Sebelum berangkat, ia hanya berpesan kepada Dewi Sekardadu –yang sedang mengandung tujuh bulan– agar anaknya diberi nama Raden Paku. Setelah bayi laki-laki itu lahir, Prabu Menak Sembuyu melampiaskan kebenciannya kepada anak Maulana Ishak dengan membuangnya ke laut dalam sebuah peti.

Alkisah, peti tersebut ditemukan oleh awak kapal dagang dari Gresik, yang sedang menuju Pulau Bali. Bayi itu lalu diserahkan kepada Nyai Ageng Pinatih, pemilik kapal tersebut. Sejak itu, bayi laki-laki yang kemudian dinamai Joko Samudro itu diasuh dan dibesarkannya. Menginjak usia tujuh tahun, Joko Samudro dititipkan di padepokan Sunan Ampel, untuk belajar agama Islam.

Karena kecerdasannya, anak itu diberi gelar ”Maulana `Ainul Yaqin”. Setelah bertahun-tahun belajar, Joko Samudro dan putranya, Raden Maulana Makhdum Ibrahim, diutus Sunan Ampel untuk menimba ilmu di Mekkah. Tapi, mereka harus singgah dulu di Pasai, untuk menemui Syekh Maulana Ishak.

Rupanya, Sunan Ampel ingin mempertemukan Raden Paku dengan ayah kandungnya. Setelah belajar selama tujuh tahun di Pasai, mereka kembali ke Jawa. Pada saat itulah Maulana Ishak membekali Raden Paku dengan segenggam tanah, lalu memintanya mendirikan pesantren di sebuah tempat yang warna dan bau tanahnya sama dengan yang diberikannya.

Kini, jejak bangunan Pesantren Giri hampir tiada. Tapi, jejak dakwah Sunan Giri masih membekas. Keteguhannya memurnikan agama Islam juga diikuti para penerusnya. Sunan Giri wafat pada 1506 Masehi, dalam usia 63 tahun. Ia dimakamkan di Desa Giri, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.

jenis – jenis puasa sunnah dan niatnya

1. Niat Puasa Syawwal
نويت صوم شهر شوال سنة لله تعالى
NAWAITU SAUMA SYAHRI SYAWWAL SUNNATAN LILLAHI TA’ALAH
Artinya :
“ Saya niat puasa bulan Syawwal , sunnah karena Allah ta’ala.”

2. Niat Puasa Bulan Dzulhijjah (Puasa Tarwiyah & ‘Arafah).
نويت صوم ترويه سنة لله تعالى
NAWAITU SAUMA TARWIYAH SUNNATAN LILLAHI TA’ALAH
Artinya :
“ Saya niat puasa Tarwiyah, sunnah karena Allah ta’ala.”
نويت صوم عرفة سنة لله تعالى
NAWAITU SAUMA ARAFAH SUNNATAN LILLAHI TA’ALAH
Artinya :
“ Saya niat puasa Arafah , sunnah karena Allah ta’ala.”

3. Niat Puasa Qhada’ Ramadhan
نويت صوم غد عن قضاء فرض رمضان لله تعالى .
Artinya :
“ Niat aku puasa esok hari keranaganti fardhu Ramadhan kerana Allah Ta’ala. ”

4. Niat Puasa Bulan Muharram (Puasa ’Asyura)
نويت صوم عشر سنة لله تعالى
NAWAITU SAUMA ‘ASYURA LILLAHI TA’ALA
Artinya :
“ Saya niat puasa hari ’Asyura , sunnah karena Allah ta’ala.”

5. Niat Puasa Bulan Rajab
نويت صوم شهر رجب سنة لله تعالى
NAWAITU SAUMA SYAHRI RAJAB LILLAHI TA’ALA
Artinya :
“ Saya niat puasa bulan Rajab , sunnah karena Allah ta’ala.”

6. Niat Puasa Senin – Kamis
نويت صوم يوم الاثنين سنة لله تعالى
” NAWAITU SAUMA YAUMUL ISNAINSUNNATAN LILLAHI TA’ALA
Artinya :
“ Saya niat puasa hari Senin, Sunnah karena Allah ta’ala.”
نويت صوم يوم الخميس سنة لله تعالى
NAWAITU SAUMA YAUMUL KHOMIS SUNNATAN LILLAHI TA’ALA
Artinya :
“ Saya niat puasa hari Kamis, sunnah karena Allah ta’ala.”

7. Niat Puasa Sya’ban
نويت صوم شهر شعبان سنة لله تعالى NAWAITU SAUMA SYAHRI SYAHBAN LILLAHI TA’ALA
Artinya :
“ Saya niat puasa bulan sya’ban , sunnah karena Allah ta’ala.”

8. Niat Puasa Daud
نويت صوم داود سنة لله تعالى
NAWAITU SAUMA DAWUD SUNNATAN LILLAHI TA’ALA
Artinya :
“ Saya niat puasa Daud , sunnah karena Allah ta’ala

jenis puasa kejawen

1. Mutih
Dalam puasa mutih ini seseorang tdk boleh makan apa-apa kecuali hanya nasi putih dan air putih saja. Nasi putihnya pun tdk boleh ditambah apa-apa lagi (seperti gula, garam dll.) jadi betul-betul hanya nasi putih dan air puih saja. Sebelum melakukan puasa mutih ini, biasanya seorang pelaku puasa harus mandi keramas dulu sebelumnya dan membaca mantra ini : “Niat ingsun mutih, mutihaken awak kang reged, putih kaya bocah mentas lahirdipun ijabahi Gusti Allah”

2. Ngeruh
Dalam melakoni puasa ini seseorang hanya boleh memakan sayuran/buah-buahan saja. Tidak diperbolehkan makan daging, ikan, telur dsb.

3. Ngebleng
Puasa Ngebleng adalah menghentikan segala aktifitas normal sehari-hari. Seseorang yang melakoni puasa Ngebleng tidak boleh makan, minum, keluar dari rumah/kamar, atau melakukan aktifitas seksual. Waktu tidur-pun harus dikurangi. Biasanya seseorang yang melakukan puasa Ngebleng tidak boleh keluar dari kamarnya selama sehari semalam (24 jam). Pada saat menjelang malam hari tidak boleh ada satu lampu atau cahaya-pun yang menerangi kamar tersebut. Kamarnya harus gelap gulita tanpa ada cahaya sedikitpun. Dalam melakoni puasa ini diperbolehkan keluar kamar hanya untuk buang air saja.

4. Pati geni
Puasa Patigeni hampir sama dengan puasa Ngebleng. Perbedaanya ialah tidak boleh keluar kamar dengan alasan apapun, tidak boleh tidur sama sekali. Biasanya puasa ini dilakukan sehari semalam, ada juga yang melakukannya 3 hari, 7 hari dst. Jika seseorang yang melakukan puasa Patigeni ingin buang air maka, harus dilakukan didalam kamar (dengan memakai pispot atau yang lainnya). Ini adalah mantra puasa patigeni : “Niat ingsun patigeni, amateni hawa panas ing badan ingsun, amateni genine napsu angkara murka krana Allah ta’ala”

5. Ngelowong
Puasa ini lebih mudah dibanding puasa-puasa diatas Seseorang yang melakoni puasa Ngelowong dilarang makan dan minum dalam kurun waktu tertentu. Hanya diperbolehkan tidur 3 jam saja (dalam 24 jam). Diperbolehkan keluar rumah.

6. Ngrowot
Puasa ini adalah puasa yang lengkap dilakukan dari subuh sampai maghrib. Saat sahur seseorang yang melakukan puasa Ngrowot ini hanya boleh makan buah-buahan itu saja! Diperbolehkan untuk memakan buah lebih dari satu tetapi hanya boleh satu jenis yang sama, misalnya pisang 3 buah saja. Dalam puasa ini diperbolehkan untuk tidur.

7. Nganyep
Puasa ini adalah puasa yang hanya memperbolehkan memakan yang tidak ada rasanya. Hampir sama dengan Mutih , perbedaanya makanannya lebih beragam asal dengan ketentuan tidak mempunyai rasa.

8. Ngidang
Hanya diperbolehkan memakan dedaunan saja, dan air putih saja. Selain daripada itu tidak diperbolehkan.

9. Ngepel
Ngepel berarti satu kepal penuh. Puasa ini mengharuskan seseorang untuk memakan dalam sehari satu kepal nasi saja. Terkadang diperbolehkan sampai dua atau tiga kepal nasi sehari.

10. Ngasrep
Hanya diperbolehkan makan dan minum yang tidak ada rasanya, minumnya hanya diperbolehkan 3 kali saja sehari.

11. Senin-kamis
Puasa ini dilakukan hanya pada hari senin dan kamis saja seperti namanya. Puasa ini identik dengan agama islam. Karena memang Rasulullah SAW menganjurkannya.

12. Wungon
Puasa ini adalah puasa pamungkas, tidak boleh makan, minum dan tidur selama 24 jam.

13. Tapa Jejeg
Tidak duduk selama 12 jam

14. Lelono
Melakukan perjalanan (jalan kaki) dari jam 12 malam sampai jam 3 subuh (waktu ini dipergunakan sebagai waktu instropeksi diri).

15. Kungkum
Kungkum merupakan tapa yang sangat unik. Banyak para pelaku spiritual merasakan sensasi yang dahsyat dalam melakukan tapa ini. Tatacara tapa Kungkum adalah sebagai beikut :
a) Masuk kedalam air dengan tanpa pakaian selembar-pun dengan posisi bersila (duduk) didalam air dengan kedalaman air se tinggi leher.
b) Biasanya dilakukan dipertemuan dua buah sungai
c) Menghadap melawan arus air
d) Memilih tempat yang baik, arus tidak terlalu deras dan tidak terlalu banyak lumpur didasar sungai
e) Lingkungan harus sepi, usahakan tidak ada seorang manusiapun disana
f) Dilaksanakan mulai jam 12 malam (terkadang boleh dari jam 10 keatas) dan dilakukan lebih dari tiga jam (walau ada juga yang memperbolehkan pengikutnya kungkum hanya 15 menit).
g) Tidak boleh tertidur selama Kungkum
h) Tidak boleh banyak bergerak
i) Sebelum masuk ke sungai disarankan untuk melakukan ritual pembersihan (mandi dulu)
j) Pada saat akan masuk air baca mantra ini :
“Putih-putih mripatku Sayidina Kilir, Ireng-ireng mripatku Sunan Kali Jaga, Telenging mripatku Kanjeng Nabi Muhammad”
k) Pada saat masuk air, mata harus tertutup dan tangan disilangkan di dada
l) Nafas teratur
m) Kungkum dilakukan selama 7 malam biasanya

16. Ngalong
Tapa ini juga begitu unik. Tapa ini dilakuakn dengan posisi tubuh kepala dibawah dan kaki diatas (sungsang). Pada tahap tertentu tapa ini dilakukan dengan kaki yang menggantung di dahan pohon dan posisi kepala di bawah (seperti kalong/kelelawar). Pada saat menggantung dilarang banyak bergerak. Secara fisik bagi yang melakoni tapa ini melatih keteraturan nafas. Biasanya puasa ini dibarengi dengan puasa Ngrowot.

17. Ngeluwang
Tapa Ngeluwang adalah tapa paling menakutkan bagi orang-orang awam dan membutuhkan keberanian yang sangat besar. Tapa Ngeluwang disebut-sebut sebagai cara untuk mendapatkan daya penglihatan gaib dan menghilangkan sesuatu. Tapa Ngeluwang adalah tapa dengan dikubur di suatu pekuburan atau tempat yang sangat sepi. Setelah seseorang selesai dari tapa ini, biasanya keluar dari kubur maka akan melihat hal-hal yang mengerikan (seperti arwah gentayangan, jin dlsb). Sebelum masuk kekubur, disarankan baca mantra ini :

“Niat ingsun Ngelowong, anutupi badan kang bolong siro mara siro mati, kang ganggu maang jiwa insun, lebur kaya dene banyu krana Allah ta’ala”